Peluh dingin turun dari pelipisnya,
udara malam memang selalu dingin pikirnya. Sudah sekian lama ia berjalan namun
tak menemukan apapun, hanya pohon yang menjulang tinggi membuat sinar bulan tak
dapat menembusnya. Langkahnya terhenti untuk mencoba berpikir. Hal yang
terakhir ia ingat adalah saat ia duduk di depan mejanya sedang membaca sebuah
buku yang ia temukan di pojok perpustakaan sekolah. Bersampul timbul, ia ingat
ada kata Lukita dan Dian pada judul buku tersebut.
Matanya menelisik dengan awas ketika sebuah suara timbul di samping kiri. Debaran pada dada kirinya berpacu seperti sedang berlari. Napasnya tersenggal pendek-pendek seperti dunia akan kehabisan oksigen pada saat itu juga.
“Sinta” ada yang memanggil namanya
dari kegelapan. Masih berusaha mencari sumber suara tersebut ia mencoba
melangkah kembali.
“Sinta” lagi! Suara itu kembali
memanggil namanya. Ia berusaha tenang walau seluruh tubuhnya bergetar hebat.
“maya ang dian laksa” suara itu
berbisik tepat ditelinganya.
“apa maumu?” Sinta menjerit pada
suara tersebut. Matanya melihat setiap sudut untuk menemukan sebuah entitas,
namun nihil ia dapat.
Tak ada jawaban. Semua kembali
hening. Tubuhnya bergetar. Ia bermandikan keringat dingin sekarang. Dengan
keberanian yang menipis ia bersusah payah untuk melangkah kembali. Ia harus
keluar dari tampat ini, pikirnya.
Di kejauhan ia melihat setitik
cahaya, berpikir bahwa ini merupakan sebuah pertolongan, ia berlari pada cahaya
tersebut. Langkahnya gelagapan seperti baru belajar berjalan. Tubuhnya berat
seperti ia menambah berat saat itu juga. Gravitasi terasa mencegahnya untuk
melangkah lebih jauh.
Matanya menangkap bayangan hitam di
tengah cahaya tersebut. Ia coba fokuskan kembali irisnya, mencoba menebak
apakah itu, tergantung seperti dahan yang patah. Semakin dekat ia dengan cahaya
dan benda tersebut semakin jelas pandangan yang ia dapatkan, semakin sulit
bernapas paru-parunya. Ia coba hentikan langkahnya namun ia seperti terseret.
Sinta berteriak dan bangun dari
tidurnya dengan peluh membanjir. Ia tengok kanan dan kirinya. Mencoba
menetralkan detak jantung miliknya.
Bersyukur ia hanya tertidur di meja belajar saat tengah membaca dan yang
ia alami tadi hanyalah sebuah mimpi. Tak bisa ia bayangkan melihat hal tersebut
di dunia nyata. Tubuhnya lemas seperti ia benar-benar telah berlari.
“ahh bunga tidur” pikirnya
menenangkan diri.
Saat dirasa napasnya sudah teratur,
ia berpikir untuk tidur dan menutup buku yang terbuka di hadapannya. Betapa
terkejutnya ia saat paragraf terakhir buku tersebut menuliskan apa yang ia
lihat dalam mimpinya.
Silahkan berkomentar dengan sopan, Memberi saran juga boleh ;)
EmoticonEmoticon