18 July 2022

Maya Dian Menembus Lukita

Kakinya melangkah dengan hati-hati. Begitu memilih mana yang akan ia pijak. Patahan ranting dan daun kering menjadi temannya dalam keheningan hutan. Baju yang ia kenakan bertabrakan dengan dedaunan sekitar. Bergoyang dan mendayu. Matanya sigap, mengawasi setiap sisi dengan teliti. Mencari manakah bagian dari tempat itu yang familiar baginya. Hutan ini terasa begitu gelap dan.. mencekam.

Peluh dingin turun dari pelipisnya, udara malam memang selalu dingin pikirnya. Sudah sekian lama ia berjalan namun tak menemukan apapun, hanya pohon yang menjulang tinggi membuat sinar bulan tak dapat menembusnya. Langkahnya terhenti untuk mencoba berpikir. Hal yang terakhir ia ingat adalah saat ia duduk di depan mejanya sedang membaca sebuah buku yang ia temukan di pojok perpustakaan sekolah. Bersampul timbul, ia ingat ada kata Lukita dan Dian pada judul buku tersebut.

Matanya menelisik dengan awas ketika sebuah suara timbul di samping kiri. Debaran pada dada kirinya berpacu seperti sedang berlari. Napasnya tersenggal pendek-pendek seperti dunia akan kehabisan oksigen pada saat itu juga.

“Sinta” ada yang memanggil namanya dari kegelapan. Masih berusaha mencari sumber suara tersebut ia mencoba melangkah kembali.

“Sinta” lagi! Suara itu kembali memanggil namanya. Ia berusaha tenang walau seluruh tubuhnya bergetar hebat.

“maya ang dian laksa” suara itu berbisik tepat ditelinganya.

“apa maumu?” Sinta menjerit pada suara tersebut. Matanya melihat setiap sudut untuk menemukan sebuah entitas, namun nihil ia dapat.

Tak ada jawaban. Semua kembali hening. Tubuhnya bergetar. Ia bermandikan keringat dingin sekarang. Dengan keberanian yang menipis ia bersusah payah untuk melangkah kembali. Ia harus keluar dari tampat ini, pikirnya.

Di kejauhan ia melihat setitik cahaya, berpikir bahwa ini merupakan sebuah pertolongan, ia berlari pada cahaya tersebut. Langkahnya gelagapan seperti baru belajar berjalan. Tubuhnya berat seperti ia menambah berat saat itu juga. Gravitasi terasa mencegahnya untuk melangkah lebih jauh.

Matanya menangkap bayangan hitam di tengah cahaya tersebut. Ia coba fokuskan kembali irisnya, mencoba menebak apakah itu, tergantung seperti dahan yang patah. Semakin dekat ia dengan cahaya dan benda tersebut semakin jelas pandangan yang ia dapatkan, semakin sulit bernapas paru-parunya. Ia coba hentikan langkahnya namun ia seperti terseret.

Sinta berteriak dan bangun dari tidurnya dengan peluh membanjir. Ia tengok kanan dan kirinya. Mencoba menetralkan detak jantung miliknya.  Bersyukur ia hanya tertidur di meja belajar saat tengah membaca dan yang ia alami tadi hanyalah sebuah mimpi. Tak bisa ia bayangkan melihat hal tersebut di dunia nyata. Tubuhnya lemas seperti ia benar-benar telah berlari.

“ahh bunga tidur” pikirnya menenangkan diri.

Saat dirasa napasnya sudah teratur, ia berpikir untuk tidur dan menutup buku yang terbuka di hadapannya. Betapa terkejutnya ia saat paragraf terakhir buku tersebut menuliskan apa yang ia lihat dalam mimpinya.

Silahkan berkomentar dengan sopan, Memberi saran juga boleh ;)
EmoticonEmoticon